Ya, mungkin itu yang akan terjadi dalam kurun waktu 20-30 tahun lagi
jika bahasa Jawa kian terpinggirkan di kalangan masyarakat pulau Jawa
sendiri. Sebagai pemilik bahasa Jawa, masyarakat Jawa seharusnya menjaga
kelestarian dan kelangsungan hidup bahasa Jawa di komunitasnya sendiri.
Namun yang terjadi malah sebaliknya, yang terjadi saat ini para kaum
muda di pulau Jawa, khususnya mereka yang masih menginjak usia sekolah
hampir sebagian besar tidak menguasai bahasa Jawa alias gagap berbahasa
Jawa.
Hal itu bisa disebabkan oleh gencarnya serbuan beragam
budaya asing dan arus informasi yang masuk melalui bermacam sarana
seperti televisi dan lain-lain. Pemakaian bahasa gaul, bahasa asing dan
bahasa seenaknya sendiri (campuran jawa indonesia english)juga ikut
memperparah kondisi bahasa Jawa yang semakin lama semakin surut ini di
Jawa.
Betapa tidak, saat ini murid tingkat sekolah dasar hingga
sekolah menengah yang mendapatkan pelajaran bahasa Jawa sebagian besar
dari bangku sekolah. Sementara pelajaran bahasa Jawa yang dulunya
merupakan pelajaran wajib sekarang hendak (bahkan sudah mulai)
dihilangkan daftar mata pelajaran sekolah.
Sedangkan penggunaan
bahasa Jawa di lingkungan rumah pun tidak lagi seketat seperti di
masa-masa dulu. Orang tua tidak lagi membiasakan bahasa Jawa sebagai
bahasa sehari-hari sebagai alat komunikasi di keluarga. Bahasa Indonesia
atau bahasa asing yang diajarkan kepada anak-anak mereka, entah dengan
berbagai macam pertimbangan. Bahasa Jawa, apalagi bahasa Krama Inggil
pun kian terabaikan. Dan juga yang kian memperparah adalah pandangan
terhadap bahasa Jawa dari generasi muda adalah bahasa orang-orang desa,
orang udik, orang-orang pinggiran, atau orang-orang jadul.
Jika
pengembangan bahasa Jawa ini tidak berkelanjutan alias putus di generasi
muda sekarang maka benar-benar akan terjadi kepunahan bahasa Jawa di
daerahnya sendiri. Bagaimana bisa menjelaskan dan melatih anak cucu
mereka jika mereka sendiri tak mampu berbahasa Jawa.
Seperti bisa
kita lihat di Surabaya atau wilayah sekitarnya yang notabene adalah
pemakai bahasa Ngoko kasar, coba ajak anak-anak muda berbicara bahasa
Jawa halus atau Krama Inggil yang njelimet dan ruwet itu, pastilah
mereka akan gagap dan kesusahan dalam berbahasa Jawa halus, karena
kebiasaan berbahasa Jawa mereka ya bahasa Ngoko kasar itu. (Saya pun
juga demikian, meski asli Trenggalek kemudian menghabiskan waktu kecil
di Gresik, kemudian balik lagi ke Trenggalek dan sekarang di Surabaya,
akan tetapi dikarenakan tidak biasa berbahasa Jawa halus ya lumayan
gagap jika disuruh berbahasa Jawa Krama apalagi Krama Inggil hehehehe...
Maaf!). Dan hal seperti itu tidak hanya terjadi di wilayah Jawa Timur
aja, tetapi juga nyaris di seluruh pulau Jawa.
Mungkin untuk saat
ini kaum ningrat di lingkungan keraton dan sekitarnya yang bertutur
bahasa super halus itu yang bisa melestarikan penggunaan dan
pengembangan bahasa Jawa ini. Atau juga masyarakat pedesaan yang masih
terbiasa berbahasa Jawa karena kondisi lingkungan yang menuntut hal
seperti itu, dan para dalang yang bahasanya aneh-aneh itu, hehehe.
Nah,
coba bayangkan jika seluruh masyarakat pulau Jawa ini tak mampu lagi
berbahasa Jawa maka yang terjadi adalah hilangnya bahasa Jawa di pulau
Jawa itu sendiri.
Oh bahasa Jawa, nasibmu kini....!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar